Hidup Teh Es!

Es teh! Mulai dari warung nasi kucing, warteg, restoran sederhana, sampai bistro berbintang lima pasti menyediakan minuman yang sering kita sebut dengan nama es teh ini. Kalaupun tidak tersedia es teh yang dibuat sendiri oleh pemilik tempat makan, pasti akan disediakan teh botol produksi pabrik. Es teh itu hukumnya fardhu! Tempat makan pasti akan merugi bila tidak menyediakan es teh. Alasannya sederhana: bisa dipastikan bahwa sebagian besar orang yang jajan akan memesan es teh untuk mengguyur tenggorokan setelah menikmati makanan.

Mungkin hanya bahasawan yang tidak sudi memesan es teh, mereka hanya akan mau memesan teh es. Memang jika ditilik dari bentuk kata benda dalam bahasa Indonesia yang berciri D-M, maka frasa es teh itu salah kaprah. Seharusnya, benda yang kita terangkan (dalam hal ini: teh) harus diletakkan lebih dulu sebelum kata yang menerangkannya (dalam kasus ini: es). Kata bahasawan, frasa es teh itu berarti cairan teh yang dibekukan sehingga menjadi es. Sedangkan bila yang kita maksud adalah cairan teh yang dijadikan dingin dengan diberi es, seharusnya kita sebut dengan nama teh es. Sengaja di awal tulisan ini saya memakai bentuk yang salah dengan frasa es teh untuk menunjukkan letak kesalahan dalam kebiasaan. Di sisa tulisan ini saya akan mencoba memakai frasa yang benar, yaitu teh es.

Memang kelihatannya ini permasalahan yang sepele, hanya persoalan nama minuman. Masalah remeh seperti ini terlihat hanya menjadi sebatas obrolan para bahasawan ketika mereka sedang istirahat makan siang dan kebetulan memesan teh es. Tapi ternyata bila kita gali, sebenarnya persoalan teh es ini lebih kompleks daripada yang kita duga. Berikut adalah beberapa pemikiran saya setelah menyeruput teh es yang manis dan menyegarkan.

Teh Es dan Pancasila

Jika ditanya, para bahasawan mungkin menjawab bahwa permasalahan bahasa seperti ini bukan permasalahan sepele. Permasalahan ini bahkan menyentuh ke sumber hukum dari segala sumber hukum di Indonesia, yaitu dasar negara kita: Pancasila. Pembahasan berikut saya ambil dari sebagian pembahasan dalam tulisan karya Berthold Damshauser yang dimuat di Majalah Tempo edisi 8 Agustus 2011. Berthold Damshauser adalah Kepala Program Studi Bahasa Indonesia Universitas Bonn, Jerman,  dan permasalahan yang ditemukan dalam bahasa yang digunakan dalam Pancasila justru ternyata dilihat secara kritis oleh mahasiswa-mahasiswa Jerman. Artikel lengkapnya dapat Anda lihat dalam tautan ini.

Coba kita ambil saja salah satu sila, yaitu sila pertama: Ketuhanan Yang Maha Esa. Masalah pertama adalah istilah “Ketuhanan”. Ada banyak kebingungan dalam kata ini. Keterangan di Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mengenai kata ini (ke·tu·han·an n 1 sifat keadaan Tuhan; 2 segala sesuatu yg berhubungan dng Tuhan: hal-hal ~ , yg berhubungan dng Tuhan) tak banyak membantu, malah memperparah kebingungan. Lebih baik mengingat fungsi utama imbuhan ke-an, yakni membentuk kata benda abstrak. Maka, “Ketuhanan” akan dipahami sebagai padanan kata Inggris “divinity“. Namun timbul pertanyaan, mengapa “Ketuhanan” yang dianggap esa, bukan “Tuhan” saja. Yang esa itu Tuhan, mengapa harus “Ketuhanan”?

Masalah kedua yang muncul yakni “Maha Esa”. Bukan karena ejaan istilah itu tidak sesuai dengan KBBI (“maha” merupakan “bentuk terikat”, sehingga ejaan bakunya seharusnya “Mahaesa”). Kita tentu paham bahwa para pendiri bangsa perumus teks Pancasila ketika itu belum diberkahi KBBI yang memperjuangkan kebakuan ejaan bahasa nasional. Yang menjadi masalah justru semantika dan logika istilah itu. Esa adalah sifat yang mahajelas, karena artinya tak lain dari ‘satu’, tak tertingkatkan dengan tambahan ‘maha’ yang hiperbolis dan redundan. Maka muncul pertanyaan, mengapa tidak diganti rumusannya dengan menjadi rumusan yang singkat dan jelas seperti ”Keesaan Tuhan”?

Hal seperti inilah yang menyebabkan mengapa prinsip kebahasaan yang benar dan baku menjadi sangat penting. Dalam proses penyusunan peraturan (legal drafting), bahasa yang digunakan haruslah disusun sedemikian rupa sehingga tidak menimbulkan pertanyaan dan bahkan memunculkan celah hukum yang dapat digunakan oleh orang-orang yang ingin mencari keuntungan diri sendiri. Maka menjadi keprihatinan kita sendiri bahwa minat terhadap bahasa Indonesia yang baik dan benar dewasa ini sudah sangat berkurang.

Kita sudah menginsyafi dan memaklumi bahwa bahasa lisan informal di Indonesia, terlebih di kota besar macam Jakarta, telah menjadi sangat jauh dari bentuk formal bahasa Indonesia. Bentuk informal yang tidak baku ini justru telah menjadi berterima umum di Indonesia berkat gempuran media yang menggelontorkan begitu banyak acara dan liputan dari Jakarta. Memang hal ini menjadi semacam gejala umum bahasa di dunia, tidak hanya di Indonesia. Di banyak negara lain, bahasa lisan telah menjadi sangat informal dan tidak baku, sementara bahasa yang baku dan formal hanya terdapat dalam tulisan resmi dan pidato resmi. Ternyata hal ini membawa dampak yang menyedihkan. Generasi muda sekarang ini sudah menyepelekan bentuk baku bahasa Indonesia yang benar. Terbukti pada beberapa tahun belakangan ini, nilai ujian nasional untuk mata pelajaran Bahasa Indonesia tingkat SMP dan SMA selalu mengalami penurunan. Padahal, kita sudah berjanji untuk menjunjung tinggi bahasa nasional kita dalam Sumpah Pemuda tahun 1928. Jangan-jangan besok ketika generasi muda sekarang menduduki jabatan pemerintahan, mereka tidak akan mengucapkan sumpah, tapi ngomongin suer samber gledek.

Teh Es dan KKN

Selain dari segi teknis masalah kebahasaan yang telah saya sebutkan di atas, dari teh es yang keliru disebut es teh, kita juga lantas tahu bahwa ternyata yang biasa kita gunakan atau kita lakukan belum tentu adalah hal yang benar. Suatu hal yang terlihat membudaya belumlah tentu menjadi tamadun. Mari kita lihat kasus KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme) di bangsa kita Indonesia yang sudah mendarah dan mendaging. Terlihat jelas bahwa KKN seperti sudah membudaya di Indonesia. Bahkan dari segi bahasa, berkembang bentuk bahasa amelioratif untuk berbagai tindak KKN seperti salam tempel, uang pelicin, bahkan sampai kode terbaru apel Washington (uang dalam dolar Amerika) dan apel Malang (uang dalam rupiah) yang dipakai oleh Angelina Sondakh dan kroni-kroninya untuk menutupi tindak pidana yang mereka lakukan. Lalu pertanyaannya, apakah bisa kita katakan bahwa korupsi sudah menjadi budaya di Indonesia?

Arti budaya atau tamadun sendiri mencakup spektrum yang sangat luas dan definisi dari budaya dari para ahli sangat berlimpah. Coba saja Anda cari pengertian budaya dengan bantuan mesin perambah seperti Google. Anda akan tercengang dengan begitu banyaknya pengertian budaya dan aspek-aspek yang dicakupnya. Dalam hubungan dengan tulisan ini, saya ingin menambah ramai rimba pendapat tentang budaya dengan mendefinisikan budaya sebagai suatu hasil olah budi dan daya yang membentuk tata keseluruhan dari sistem nilai dan simbol, struktur sosial, dan karya-karya fisik yang bersifat unik dan khas sehingga dapat digunakan sebagai penanda untuk membedakan suatu kelompok masyarakat dengan kelompok masyarakat lain. Berangkat dari pengertian budaya ini, saya dapat dengan tegas menyimpulkan bahwa KKN sama sekali bukan bentuk budaya. KKN adalah tindak pidana yang bersifat kriminalistik, dan yang namanya tindak kriminal tidak pernah dapat menjadi budaya. Tindak kriminal justru menjadi perusak budaya. Entah dengan para negarawan terhormat yang duduk di kursi kekuasaan, tapi saya tidak akan pernah rela jika orang menyebut bahwa KKN adalah budaya bangsa Indonesia. Saya tidak mau bangga dengan kenyataan bahwa ciri khas dan unik dari negara Indonesia adalah tingkat KKN yang tinggi (walau sedihnya, kenyataannya memang tingkat KKN di Indonesia sudah sangat parah). Saya yakin, Anda yang masih memiliki hati nurani pasti akan sepaham dengan saya.

Sudah sejak dulu kita bangga menyebut diri sebagai bangsa timur yang berbudaya santun dan berbudi. Tapi sekarang, citra itu justru rusak dengan KKN. Padahal, banyak ahli hukum berpendapat bahwa KKN adalah kejahatan bertaraf internasional dan bersifat sebagai kejahatan luar biasa terhadap kemanusiaan (extraordinary crime against humanity). Bahkan, sering KKN disetarakan dengan kejahatan kemanusiaan dalam perang.

KKN sudah mencapai taraf keprihatinan internasional karena bahkan negara-negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa bersepakat dalam Konvensi PBB Anti Korupsi Tahun 2003. Indonesia sendiri telah meratifikasi Konvensi tersebut dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2006 Tentang Pengesahan United Nation Convention Against Corruption, 2003 (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi, 2003).

KKN disebut sebagai kejahatan luar biasa terhadap kemanusiaan karena KKN tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga telah merupakan pelanggaran terhadap hak-hak asasi sosial dan ekonomi masyarakat secara luas yang memiliki dampak amat merugikan baik di masa kini maupun masa depan (bandingkan dengan konsideran huruf a Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi). KKN adalah kejahatan kemanusiaan, maka yang menjadi korban kejahatan adalah manusia. Namun tepatnya, siapa korban dari KKN? Ada banyak sekali korban KKN. Yang pertama dirugikan adalah yang berkaitan langsung secara moneter, yaitu negara dan para pembayar pajak. Negara kehilangan sumber pendapatan, dan uang para pembayar pajak dicuri. Namun, yang menderita lebih parah adalah masyarakat luas, apalagi masyarakat yang kecil, lemah, miskin, tersingkir dan difabel. Seharusnya kelompok masyarakat ini menikmati manfaat pembangunan yang dapat diraih dengan pemanfaatan pajak. Tapi nyatanya, lintah penjahat-penjahat kerah putih yang menamakan diri sebagai pejabat negara justru mengisap habis kehidupan masa depan dari masyarakat dengan KKN.

Saya sungguh tidak rela bila kejahatan kemanusiaan yang keji ini dikatakan sebagai bagian dari budaya bangsa Indonesia. Bila KKN benar-benar telah menjadi budaya bangsa Indonesia, saya yakin bahwa bangsa kita akan mencapai titik nadirnya: berubah dari bangsa beradab menjadi bangsa biadab. Saya dan Anda benar-benar tidak ingin hal ini terjadi.

Teh Es dan Penegakan Hukum

Prinsip teh es juga membawa saya masuk ke dalam ranah praktis. Ketika saya mengetahui bahwa frasa yang benar adalah teh es dan bukan es teh, saya berusaha untuk konsisten memakai frasa teh es. Kesulitan segera muncul, karena ternyata otak saya biasa berpikir, mulut saya biasa berujar, dan tangan saya biasa menulis frasa yang lama: es teh. Namun, perubahan radikal haruslah saya ambil bila ingin menggunakan bahasa yang baku dan benar.

Prinsip teh es juga membawa saya pada pemikiran berikut. Kejahatan luar biasa harus diatasi dengan langkah luar biasa. Maka, mungkin yang kita perlukan adalah perubahan kebudayaan yang radikal. Kebudayaan kita harus menjadi kebudayaan yang sadar, taat, dan patuh pada hukum yang benar. Substansi hukum kita menurut saya sudah cukup baik. Kita punya banyak ahli hukum yang bisa merumuskan undang-undang dengan baik. Yang menjadi perhatian bagi saya adalah perlunya ditingkatkan upaya pengembangan hukum yang tidak hanya bersifat represif, namun juga preventif dan detektif.

Zaman sekarang ini yang menjadi masalah adalah budaya penegakan hukum kita masih amburadul. Coba kita lihat contoh berikut. Pengadilan Negeri Serang Banten pada tanggal 5 Juli 2007 mengeluarkan putusan terhadap kasus pidana pencurian sepuluh kilogram bawang merah dengan memidana pelaku pencurian yakni dua orang kuli panggul bernama Saprudin (umur 18 Tahun) dan Mulyadi (umur 23 Tahun) selama delapan bulan penjara. Di hari yang sama, Pengadilan Negeri Serang juga mengeluarkan putusan atas kasus korupsi APBN tahun 2003 senilai Rp 14 miliar yang dilakukan secara bersama-sama oleh beberapa mantan anggota DPRD propinsi Banten dengan menjatuhkan pidana penjara selama 15 bulan. Jelaslah sulit bagi akal sehat dan hati nurani kita untuk menerima preseden ini. Sebuah pencurian yang dilakukan oleh orang “berada dan mapan” alias anggota DPRD dengan nilai fantastis 14 miliar memperoleh putusan pidana yang nyaris sama (hanya selisih beberapa bulan saja) dengan putusan pidana atas pencurian 10 kg bawang merah yang paling-paling bernilai Rp 60 ribu oleh mereka yang masih berpikir tiap hari: “Besok bisa makan atau tidak?”.

Penegakan hukum haruslah kembali kepada hakikat hukum yang harus mempedulikan tiga pilar hukum: keadilan hukum, kepastian hukum, dan kemanfaatan hukum. Terlihat jelas bahwa putusan pengadilan yang saya sebutkan di atas baru memperhatikan segi kepastian hukum. Kejahatan semata-mata dihukum karena peraturan yang ada mengatakan seperti itu. Sama sekali tidak ada unsur keadilan hukum dan kemanfaatan hukum. Preseden seperti itu harusnya justru menjadi cambuk bagi pemerintah yang mengingatkan bahwa masih banyak rakyat yang hidup susah dan terpaksa mencuri untuk bertahan hidup. Pemerintah seharusnya justru malu, dan dengan belajar malu, pemerintah terpacu untuk makin memperbaiki pelayanannya kepada masyarakat.

Saya mendukung pendekatan hukum progresif yang dikemukakan oleh almarhum Prof. Satjipto Rahardjo. Hukum progresif adalah hukum yang membebaskan. Hukum seharusnya ditujukan untuk manusia, bukannya manusia ditujukan oleh hukum. Maka apabila terjadi hambatan-hambatan terhadap pencapaian keadilan hukum, kepastian hukum, dan kemanfaatan hukum, maka seharusnya dilakukan pembebasan-pembebasan, baik dalam berilmu, berteori, dan berpraktik. Perspektif hukum progresif tidak bersifat kaku terhadap peraturan (rule-bound) yang menggarap hukum semata-mata menggunakan “rule and logic” atau rechtdogmatigheid, dengan alur berpikir linier, marginal, dan deterministik seperti pada kasus di Serang, Banten di atas. Paradigma hukum progresif akan berpola mematahkan aturan (rule-breaking). Dalam pola pikir hukum progresif, kita harus berani untuk tidak selalu tunduk dan mengikuti alur linier, marginal, dan deterministik. Perlu disadari bahwa hukum bukanlah institusi yang absolut dan final, melainkan hukum selalu dalam proses menjadi (law as process atau law in the making). Hukum progresif tidak bermaksud untuk menghapus hukum itu sendiri, namun mendorong kreatifitas dalam memberi penafsiran dan membaca hukum secara progresif. Implementasi hukum progresif justru menjadikan hukum menjadi lebih agung karena hukum menjadi lebih manusiawi dengan menempatkan kemanusiaan di atas peraturan yang kaku. Hukum progresif tetaplah berangkat dan berpijak pada aturan hukum, namun tidak lantas tenggelam di dalamnya.

Jadi, penegakan hukum haruslah efektif dan efisien, harus mencabut dari akar permasalahan dan menyelesaikan permasalahan sampai tuntas. Haruslah sering-sering ditinjau, apakah politik pemidanaan yang sesuai adalah penal (lewat jalur pengadilan) atau nonpenal (di luar jalur pengadilan). Untuk pemidanaan KKN khususnya, haruslah dikejar supaya diperoleh efek jera bagi pelaku dan upaya-upaya pengembalian kerugian negara yang hilang akibat KKN dengan semaksimal mungkin. Pemberian pidana juga tidak semata bersifat balas dendam, tapi bisa juga dengan menambah hukuman yang bertujuan untuk mempermalukan pelaku. Beberapa negara seperti Singapura, Malaysia, Timur Tengah, New Zealand, Australia, Amerika dan negara-negara Eropa menerapkan sangsi hukum yang tegas bagi para pelaku kejahatan. Salah satunya bagi setiap pelaku kejahatan tidak dapat mengganti hukuman pidana penjara dengan uang, bila sudah di penjara akan sulit mencari pekerjaan, dan tidak bisa dilindungi oleh pejabat atau keluarga yang memiliki kedudukan penting dalam suatu negara. Ada banyak cara yang bisa ditempuh dalam upaya penegakan hukum secara efektif dan efisien yang masih berada dalam batasan koridor peraturan yang berlaku.

Teh Es, Pengawasan, dan Pencegahan

Ternyata teh es di dalam gelas juga bisa berbahaya! Teh es standar biasanya dilengkapi dengan dua peranti berikut: sendok untuk mengaduk gula dan sedotan. Bila kita tidak hati-hati, ternyata sendok dan sedotan ini bisa melukai kita. Caranya? Bila kita tidak hati-hati mengarahkan sendok dan sedotan di gelas saat hendak minum, bisa-bisa sendok dan sedotan itu menusuk mata kita! Mata kita yang seharusnya mengawasi arah sendok dan sedotan justru bisa tertusuk oleh keduanya. Hal sendok dan sedotan ini membawa saya pada sebuah pemikiran lain, yaitu tentang pengawasan dan pencegahan KKN.

Ada sebuah pepatah bahasa Latin yang merumuskan secara tepat permasalahan lain dalam penegakan hukum di Indonesia. Pepatah itu berbentuk pertanyaan berikut: quis custodiet ipsos custodes? Artinya adalah: siapa yang akan mengawasi para pengawas? Dulu di Indonesia satu-satunya pengawas KKN adalah kepolisian. Karena dianggap tidak becus dalam bekerja dan di dalam tubuh kepolisian sendiri ada banyak KKN, maka didirikanlah komisi yang khusus untuk pemberantasan korupsi yaitu KPK. Tapi ternyata KPK sendiri sering dirundung masalah dan tidak dapat lepas pula dari jerat KKN (ingat kasus Anggodo?). Sekarang para ahli tata negara mengatakan bahwa terjadi tumpang tindih kewenangan akibat terlalu banyak pengawas. Seharusnya mana yang benar? Menurut hemat saya, pengawasan terhadap para pengawas haruslah dilaksanakan antarlembaga dan pengawasan dari bawah oleh masyarakat. Perlu dibuka saluran pengawasan yang lega bagi pengawasan silang antarlembaga dan pengawasan dari masyarakat. Prinsip transparansi dan akuntabilitas lembaga pengawasan haruslah dilaksanakan dengan tepat.

Untuk mengatasi kejahatan KKN, diperlukan pula sistem pencegahan dini agar di masa depan aparat penegak hukum lebih mudah melaksanakan penegakan hukum dan mengadili seadil-adilnya. Pencegahan yang dapat dilakukan yaitu peningkatan kualitas moral, peningkatan jaminan sosial dan kesejahteraan, peningkatan stabilitas dan peningkatan sangsi hukum.

Peningkatan kualitas moral dapat dilakukan dengan pendidikan agama, pendidikan etika di sekolah dan di rumah, program media yang berkualitas, serta teladan dari para pemimpin. Pendidikan agama yang kuat akan membentuk karakter seseorang sehingga menimbulkan rasa takut dan gentar dari dalam apabila melakukan suatu kejahatan. Pendidikan etika di sekolah dan di rumah juga mempertebal iman dan ketaatan terhadap hukum baik hukum agama, hukum moral maupun hukum pemerintah. Hukum agama akan mengajarkan manusia mentaati Tuhan sebagai Sang Penguasa, hukum moral mengajarkan manusia takut dan jera bila diasingkan oleh masyarakat dan kelompoknya, dan hukum pemerintah membuat efek jera bagi pelaku dengan rasa malu dan terasingkan. Program media baik cetak, elektronik maupun luar ruang ternyata memiliki efek yang cepat bagi para pemirsa maupun pembacanya. Media yang mendidik dan mengajarkan kebenaran akan membentuk masyarakat yang taat dan patuh terhadap peraturan dan perundang-undangan yang ada. Dan yang terpenting adalah teladan dari pemimpin baik pemerintah dari pusat ke daerah, pemimpin agama dan pengajar, serta keluarga di rumah yaitu orang tua.

Peningkatan jaminan sosial kesejahteraan akan mengurangi orang berbuat jahat. Salah satu penyebab kejahatan adalah masalah ekonomi rumah tangga yang penuh dengan kekurangan sehingga pada saat tertentu dan terpojok orang dapat melakukan kejahatan yang tidak pernah dilakukan. Beberapa negara maju, sangat menekankan hal ini khususnya di bidang sandang, pangan, papan, dan kesehatan. Pertanian, peternakan, dan kehutanan yang baik akan memberikan kesejahteraan bagi masyarakat. Program kesehatan dari pemerintah serta jaminan asuransi juga melindungi masyarakat dari kejadian yang tidak terduga. Pemerintah wajib memberi santunan dan kesempatan kerja bagi masyarakat yang masih kekurangan maupun menganggur. Masyarakat sejahtera akan menurunkan tingkat kejahatan.

Stabilitas baik politik, ekonomi dan keamanan sangat mempengaruhi tindak kejahatan. Negara yang tidak stabil, penuh peperangan dan ketidakpastian akan mengubah mental, karakter dan sifat seseorang, sehingga orang yang awalnya baik, peramah, jujur, dan sabar akan berubah menjadi brutal, tega, sadis dan penuh trik untuk melakukan tindak kejahatan. Perubahan harga, nilai mata uang, maupun suku bunga yang fluktiatif akan menimbulkan berbagai dampak bagi kemampuan ekonomi masyarakat. Kondisi ekonomi yang stabil akan menimbulkan rasa aman dan tenang bagi masyarakat dan dapat menekan pertumbuhan kejahatan.

Teh Es, Yesus, dan Gereja

Refleksi saya yang terakhir terkait teh es tidak berasal dari teh es itu sendiri. Saya merenungkan makna teh es ini ketika saya sedang menikmati teh es di Pertapaan Santa Maria Rawaseneng, Temanggung tempat para rahib Trappist hidup dan berkarya. Maka, refleksi saya pun akhirnya bermuara kembali kepada Tuhan. Pendekatan hukum progresif dan tindakan-tindakan preventif yang saya sebutkan di bagian sebelumnya sebenarnya sudah akrab dalam ajaran Katolik. Dua ribu tahun sebelum Profesor Satjipto Rahardjo mencetuskan teori hukum progresif, Yesus sendiri sudah mengatakan intisari hukum progresif dalam Injil Markus 2:23-28 dengan berkata “Hari Sabat diadakan untuk manusia dan bukan manusia untuk hari Sabat”. Inti ucapan Yesus sama persis dengan maksud dari Prof. Tjip, yaitu hukum untuk manusia, dan bukan manusia untuk hukum. Hal yang sama juga disebutkan dalam berbagai dokumen Gereja, seperti misalnya dalam Konstitusi Gaudium et Spes hasil Konsili Vatikan II. Ajaran Gereja Katolik juga mendukung tindakan-tindakan preventif yang saya sebutkan sebelumnya. Tindakan-tindakan preventif tersebut pada intinya bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup manusia melalui pendidikan dan peningkatan kesejahteraan sosial ekonomi. Hal ini sehati dengan Ajaran Sosial Gereja yang bertujuan untuk “memanusiakan manusia”.

Setetes Teh Es Terakhir

Manusia adalah makhluk yang selalu memberi dan mengaitkan makna. Saya sendiri misalnya, belajar banyak hanya dari segelas teh es. Saya lalu membayangkan, alangkah lebih baiknya Indonesia bila para petinggi negara, para penguasa, para pejabat, dan orang-orang yang duduk “di atas” mau meluangkan waktu sejenak untuk melihat makna di sekelilingnya, terlebih melongok ke bawah kepada sesamanya yang kecil, lemah, miskin, tersingkir, dan difabel. Andaikan saja para petinggi itu dengan tulus mau meluangkan waktu sejenak menatap mata sesama mereka yang kuyu dan sayu akibat beban kehidupan dan kemudian berusaha merefleksikan semuanya itu. Saya yakin, mereka akan tidak akan sekedar melongok lagi ke bawah dari kursi kekuasaan bak tahta dari gading. Mereka justru akan turun dari tahta gadingnya, lalu berjalan berdampingan menuntun sesamanya yang menderita, karena di mata sesamanya yang menderita itu ternyata mereka melihat Tuhan berdiam di dalamnya. Semoga!

Hidup teh es!

Berkah Dalem.

Pos ini dipublikasikan di Tentang Hidup dan tag , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , . Tandai permalink.

Tinggalkan komentar