Oleh-oleh Benang Ruwet dari Jayapura

Sedikit Cerita

Saya baru saja pulang dari Jayapura. Berhubung saya hanya dua hari di sana dan juga tidak banyak menjelajah kebudayaan Papua, saya tidak bisa bercerita banyak mengenai pengalaman perjalanan saya. Dalam tulisan ini, saya ingin menceritakan pemikiran yang hinggap dan mengganjal di kepala saya selama bepergian di sana.

Kota Jayapura adalah kota yang indah, terletak di teluk Samudra Pasifik dan berbukit-bukit seperti di kota kelahiran saya, Semarang. Sewaktu saya berangkat ke sana, saya sudah berekspektasi akan menemui rumah adat honai di mana-mana dan dihuni oleh penduduk asli yang memakai koteka dan rumbai-rumbai. Ternyata setibanya di sana, justru saya merasa tiba kembali di Semarang. Saya lupa bahwa Jayapura adalah ibukota provinsi, jadi kelihatannya sedikit banyak (di mata saya: sangat banyak) sudah berubah menjadi kota modern. Dalam perjalanan saya yang amat singkat di sana, saya hanya melihat beberapa saja budaya asli Papua yang masih menunjukkan jejaknya di kota Jayapura. Mungkin karena saya berkunjung dalam waktu yang teramat singkat dan tidak sempat pergi berwisata, saya hanya melihat sedikit saja. Bila ada kesempatan lain ke sana, saya berharap dapat lebih dalam menggali kebudayaan Papua.

Satu hal yang saya perhatikan di sana adalah: di Jayapura ada banyak sekali gereja. Baik Gereja Katolik maupun Gereja Protestan dengan berbagai denominasinya, semua tumbuh subur di sana. Ada banyak juga sekolah tinggi teologi di Jayapura. Di jalan-jalan Jayapura, banyak orang Papua dengan bangga mengenakan Rosario di leher mereka. Di toko batik Papua tempat saya mampir membeli oleh-oleh, ada spanduk bertuliskan kata-kata ini (saya menyayangkan kesalahan tata bahasa di ucapan spanduk tersebut, tapi demikianlah yang tertulis di sana):  “selamat hari jadi Kota Jayapura ke-102 dan memperingati 157 tahun masuknya Injil di Tanah Papua”. Hal yang paling menakjubkan bagi saya adalah adanya salib di mana-mana, bahkan landmarks yang menonjol di kota Jayapura adalah rangka salib besar berneon merah yang terletak di pulau kecil di teluk Jayapura dan  bersanding dengan tulisan ”Jayapura City”, juga dalam rangka logam berneon merah.

Saya merasa sedikit gegar budaya-agama di sana. Saya terbiasa dengan budaya-agama di Jawa: banyak masjid, suara adzan senantiasa berkumandang di mana-mana. Saat berada di Jayapura, suasananya sungguh berbeda. Saya harus jujur. Sebagai orang Katolik, saya merasakan sebersit perasaan senang dan akrab di hati. Apakala di berita nasional sarat dengan berita pelarangan beribadah bagi jemaat Kristen seperti HKBP Filadelfia Bekasi serta Keuskupan Agung Semarang tempat tinggal saya sendiri sedang gundah akibat berbagai kejadian yang merusak perdamaian antaragama seperti perusakan Gua Maria di Sendang Pawitra Tawangmangu dan penolakan warga atas Gua Maria di Giri Wening Gunungkidul, berada di tanah Jayapura yang kental suasana Kristianinya membuat hati saya sedikit merasa damai.

Entahlah mengapa saya merasa begitu. Mungkin memang sudah sifat manusia untuk merasa senang berkumpul dengan sesamanya yang juga memiliki banyak kesamaan dengannya. Mungkin perasaan saya sama seperti orang Indonesia di luar negeri yang merasa senang bertemu dengan orang Indonesia lainnya. Bahkan burung pun senang berkumpul dengan burung lain yang warna bulunya sama. Atau mungkin saja, saya sedang merasa lelah menjadi anggota agama minoritas di tengah negara yang mayoritasnya beragama lain. Apalagi ketika di berbagai tempat di Indonesia sering agama minoritas ditekan oleh mayoritas, seperti yang sudah saya sebut sedikit sebelumnya. Entahlah. Mungkin saja hal yang lain.

Ketika saya kembali ke tanah Jawa, saya sempat bermalam di tempat om saya di Tangerang sebelum kembali ke Semarang. Saya sudah sering pergi ke tempat om saya di Tangerang ini. Tapi kali ini, saya memperhatikan sesuatu yang sebelumnya hanya saya lihat sepintas lalu. Mungkin saya baru memperhatikan akibat pengalaman saya di Jayapura. Saya mendapati, ternyata Kota Tangerang sangat bernuansa Islami. Motto Kota Tangerang adalah kota ber-akhlakul karimah. Di sepanjang marka jalan pembatas antara jalur kanan dan jalur kiri di Jalan Cikokol Tangerang, dipasang kotak-kotak lampu bertuliskan asmaul husna atau nama-nama Allah yang menggambarkan sifat-sifat ilahi dari Allah menurut ajaran Islam. Kembali saya mengalami gempa budaya-agama; setelah dari Jayapura yang liat suasana Kristen, saya masuk ke kota Tangerang yang sarat budaya Islami.

Beberapa Pertanyaan yang Terpikirkan

Saya menjadi bertanya-tanya sendiri. Mengapa di Jayapura bisa dipasang landmark berbentuk salib; dan juga di Tangerang, bahkan pemerintah kota sendiri menempatkan kotak-kotak bertuliskan asmaul husna di marka jalan? Kalau pemerintah lokal dengan mantapnya menjadikan salah satu agama mayoritas seolah menjadi “agama resmi” pemerintah lokal tersebut, sebenarnya, Indonesia ini negara agama atau negara sekuler? Apakah agama itu menjadi satu dengan pemerintahan, atau sama sekali di luar pemerintahan? Mengapa di banyak daerah bermunculan peraturan daerah yang diskriminatif terhadap agama dan pada imbasnya juga bias pada gender?

Pikiran saya makin jauh berkelana, bertanya makin jauh. Mengapa salah satu agama yang dominan di suatu daerah lantas masuk merasuk bahkan ke dalam sistem tata negara dan administrasi negara secara nasional? Mengapa kita punya Pengadilan Agama dan Kantor Urusan Agama yang hanya mengurusi warga negara beragama Islam? Mengapa namanya tidak diubah saja menjadi Pengadilan Agama Islam dan Kantor Urusan Agama Islam? Mengapa instansi tersebut memakai nama hipernim “agama” padahal yang diurus tidak semua agama? Mengapa warga negara beragama bukan Islam jika berperkara dalam bidang agama atau mengurus perkawinan masuknya ke yurisdiksi Pengadilan Negeri dan Kantor Catatan Sipil? Mengapa misalnya, tidak ada Pengadilan Agama Buddha, atau Kantor Urusan Agama Hindu?

Mengapa di Gereja, setelah menikah secara Katolik, masih harus digelar lagi upacara nikah negara dengan petugas dari Kantor Catatan Sipil; padahal di Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 tahun 1974 pasal 2 ayat (1) jelas dikatakan bahwa “Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu”? Apakah dengan demikian, pernikahan di Gereja itu dinilai belum sah oleh negara?

Mengapa organisasi macam FPI yang katanya berprinsip nahi munkar tapi nyata-nyata bertindak munkar masih saja dibiarkan oleh pemerintah, bahkan seolah para aparat tak kuasa menahan aksi anarkis mereka? Mengapa diskusi Irshad Manji beberapa waktu lalu berkali-kali dipaksakan batal hanya karena ancaman anarkis, padahal Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pasal 28E ayat (3) jelas melindungi kebebasan berpendapat? Mengapa rakyat Indonesia menjadi sok suci dengan mengecam konser Lady Gaga, padahal orkes dangdut di kampung-kampung justru sering lebih erotik daripada Lady Gaga? Mengapa Ahmadiyah dipaksa bubar? Mengapa HKBP Filadelfia dilarang beribadah, padahal sudah dimenangkan lewat jalur hukum? Mengapa Gua Maria diserang dan ditolak? Mengapa masih saja rumah ibadah diteror bom, seperti di GBIS Kepunton Solo tahun 2011 lalu?

Dengan sedikit ngeri, tibalah saya pada pertanyaan yang menakutkan ini: apakah toleransi di Indonesia telah menjadi barang langka? Apakah perdamaian agama yang sepertinya kita lihat di permukaan sekarang sebenarnya hanyalah perdamaian semu yang teramat rentan? Apakah suasana tenteram adem ayem antaragama hanyalah merupakan kedok dari genjatan senjata dari agama mayoritas dengan agama minoritas?

Pergulatan Pribadi Saat Mencari Jawaban – Yang Justru Menggandeng Pertanyaan Baru

Seperti biasanya, ketika pikiran saya mencetuskan pertanyaan macam ini, saya lalu berusaha mencari jawabannya. Tapi kali ini, saya harus jujur. Saya digelayuti rasa malas yang aneh saat sedang mencari jawaban dari pertanyaan saya kali ini. Saya tidak merasa menjadi diri saya sendiri kali ini. Saya seakan mati rasa ketika berusaha menjawab pertanyaan saya sendiri. Rasa-rasanya, saya sedang dihinggapi sentimen negatif apatisme seorang rakyat yang sudah putus asa dan muak atas penyelenggaraan negara dan penegakan hukum yang saya rasa sudah sedemikian buruknya, bahkan sampai saya sudah tidak peduli lagi. Bahkan untuk menjawab pertanyaan ini pun, saya merasa gundah. Apakah ketika saya sudah menemukan jawaban dari pertanyaan ini, hati dan pikiran saya akan menjadi lebih tenteram? Atau justru saya akan makin resah dan bersedih karena ternyata das sein (yang senyatanya) ternyata sudah terlalu jauh menyimpang dari das sollen (yang seharusnya), bahkan sudah mencapai point of no return? Apa gunanya saya mengetahui jawaban dari pertanyaan-pertanyaan saya kalau ternyata di kenyataan, sulit sekali tercipta keadaan yang lebih baik yang saya dambakan? Mengapa kondisi damai yang saya bayangkan dan saya idam-idamkan justru terasa seperti realisme utopian yang mustahil terwujud?

Saya ceritakan perjuangan saya saat mencoba menjawab pertanyaan saya yang pertama saya sebutkan: apakah Indonesia negara agama atau negara sekuler? Bila dilihat dari segi hukum, Indonesia bukanlah keduanya. Indonesia bukan negara agama, pun bukan negara sekuler. Indonesia bukan negara agama karena tidak memiliki agama resmi sebagai agama negara. Indonesia juga bukan negara sekuler yang memisahkan sama sekali antara agama dan negara. Buktinya, Indonesia memiliki Kementerian Agama, dan kebebasan beragama dilindungi dan dijamin oleh konstitusi negara, yaitu Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pasal 28E ayat (1) dan pasal 29 ayat (2) beserta undang-undang di bawahnya (seperti UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM). Resminya menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pasal 29 ayat (1), Indonesia adalah negara yang “berdasar atas Ketuhanan yang Maha Esa”. Bisa saya katakan, Indonesia adalah negara religius.

Namun setelah mendapat jawaban ini, pikiran saya ini justru melahirkan banyak pertanyaan baru. Mengapa di Indonesia yang menjamin kebebasan beragama, nyatanya hanya mengakui enam agama: Islam, Katolik, Protestan, Hindu, Buddhisme, dan Konghucu? Bahkan nyatanya, agama Konghucu baru mendapat pengakuan sebagai agama semasa pemerintahan Gus Dur alias Abdurrahman Wahid. Mengapa misalnya, agama animisme dan dinamisme yang telah menjadi agama lokal di Indonesia seperti Kejawen, Saminisme Sedulur Sikep, Kaharingan Suku Dayak, dan Marapu di Sumba tidak mendapat pengakuan sebagai agama di Indonesia, namun hanya dikatakan sebagai “kepercayaan”? Apakah misalnya, orang-orang dari manca yang beragama lain dari yang diakui di Indonesia seperti Sikh, Yahudi, Tao, Shinto, Baha’i, dan Jainisme lantas dikatakan tidak beragama? Mengapa Indonesia, yang di konstitusinya sendiri menjamin kebebasan beragama, ternyata tidak memperlakukan semua agama sederajat? Mengapa aliran Ahmadiyah ditentang oleh banyak orang di Indonesia?

Memang kebebasan beragama tidak tak terbatas karena harus dijaga supaya tidak berbenturan antara satu kepentingan agama dengan kepentingan agama lain. Pemerintah Indonesia juga harus mencegah munculnya agama-sekte-kultus berbahaya seperti sekte bunuh diri (seperti sekte People’s Temple di Amerika tahun 1978 yang mengadakan bunuh diri massal lebih dari 900 orang, termasuk di antaranya 300 anak-anak), sekte kekerasan dan terorisme (seperti gerakan Al Qaeda dan gerakan Aum di Jepang), dan sekte-sekte berbahaya lain seperti sekte pemakai obat-obatan terlarang secara eksesif, sekte penyiksaan diri dan orang lain, sekte pendukung seks bebas, sekte penyiksa binatang secara tidak manusiawi, dan banyak lagi. Tapi bagaimana misalnya dengan gerakan-gerakan baru yang bisa kita katakan aneh, ganjil, dan tidak biasa, namun tidak mengganggu orang lain seperti gerakan New Age, Scientology, sampai pada agama luar biasa aneh yang percaya bahwa alien adalah dewa? Biasanya kita, orang Indonesia akan mengambil langkah ultra preventif dengan melarang segala jenis sekte baru (seperti sektenya Lia Eden) dengan alasan penistaan agama.

Saya berandai-andai lagi, mengapa Indonesia tidak bisa bersikap toleran seperti Evelyn Beatrice Hall yang menulis dalam biografinya tentang Voltaire: “I disapprove of what you say, but I will defend to the death your right to say it” yang kira-kira berarti “saya tidak setuju dengan perkataan Anda, namun saya akan membela sampai mati hak Anda untuk berkata demikian”. Saya bayangkan, alangkah indahnya bila Indonesia bisa menghidupi semangat Evelyn Beatrice Hall itu. Akankah bayangan saya ini hanya menjadi angan-angan kosong belaka? Ataukah semangat ini hanya ada di awal berdirinya republik kita ini dengan semangat berbesar hati para tokoh pendiri negara yang beragama Muslim yang setuju dengan perubahan sila pertama dalam Piagam Jakarta yang semula berbunyi “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” menjadi bentuk yang lebih universal yang sekarang tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan kita kenal dalam Pancasila?

Saya mencoba mencari semangat ini di zaman sekarang ini. Saat saya mencoba mencari di mesin perambah Google dengan kata kunci “kebebasan beragama di Indonesia”, semua hasil pencarian yang tertampil di halaman pertama hasil pencarian ternyata menunjukkan hasil yang mencemaskan dan menciutkan hati. Saya hanya bisa berpikir, apakah sekarang kita telah masuk ke dalam “kala bendu”, zaman serba edan? Tanpa sadar, saya mendengar diri saya sendiri berujar lirih: “Astaga, Indonesia…”

Mari Berdiskusi

Kali ini, saya harus mengaku saya tidak mampu mengurai benang ruwet ini sendirian. Dan sepertinya Tuhan sendiri menuntun saya sendiri dalam permasalahan ini. Beberapa hari yang lalu, seorang blogger mengikuti blog saya ini, dan ternyata blog Beliau ini adalah blog yang berspesialisasi pada masalah toleransi. Nama blogger ini adalah Bapak Muhammad Hafiz dan alamat blognya adalah membumikantoleransi.wordpress.com. Silakan Anda menjelajah tulisan-tulisan Bapak Muhammad Hafiz di blog tersebut. Saya sendiri merasa sangat terbantu untuk menjawab berbagai pertanyaan saya di atas.

Satu artikel yang menarik hati saya dalam blog Pak Muhammad Hafiz tersebut adalah tentang dialog. Pak Muhammad Hafiz melakukan “otak-atik gathuk” dari kata dialogue dan menghasilkan rangkaian kata dia-lo-gue. Ternyata, untuk menyatukan saya, Anda, dan dia untuk menjadi satu “kita”, perlu ada perekat yang bernama dialog. Dialog ini harus dilaksanakan dalam kejernihan dan kehendak baik. Dialog yang berbuah baik tidak akan pernah terjadi bila sebelumnya masing-masing pihak yang berdialog sudah berangkat dengan prasangka dan curiga.

Saya pun sadar, bahwa saya tidak akan pernah bisa menjawab pertanyaan ini sendirian. Saya juga butuh berdialog untuk mendapat jawaban atas banyak pertanyaan saya. Kalau saya hanya menjawab sendirian, hasilnya justru adalah benang ruwet seperti di atas. Jadi, saya mengundang Anda yang sudah membaca tulisan saya ini untuk ikut berdialog dan bersama-sama membangun Indonesia yang lebih baik. Saya berharap dan percaya bahwa kita semua yang sudah berkehendak baik dan memulai langkah yang baik, pasti akan dibantu Tuhan mewujudkan niatan baik kita. Ijinkan saya mengutip dari Kitab Suci yang saya yakini untuk menutup tulisan ini: Allah yang memulai pekerjaan baik di antara kita akan menyelesaikannya (bandingkan Filipi 1:6).

Berkah Dalem.

Pos ini dipublikasikan di Sahabat Cakrabyuha, Tentang Hidup dan tag , , , , , , , , , , , , , , , , , , , . Tandai permalink.

Satu Balasan ke Oleh-oleh Benang Ruwet dari Jayapura

  1. msahdi berkata:

    selamat siang
    kpd bpk ibu
    di tempat
    lain kali butuh pengiriman barang
    dr surabaya sampai maluku dan papua
    via kapal laut pelni
    kami dr Mr xpressby
    tlp wa:081333092614

Tinggalkan komentar