Iman Katolik Itu Hijau

Bersama Lenka dari Czech dan Astrid dari Austria

Bersama Lenka dari Czech dan Astrid dari Austria

Artikel kali ini adalah tulisan yang saya kirim untuk dimuat pada Majalah Gemati Edisi November 2012. Majalah Gemati merupakan media komunikasi paroki St. Athanasius Agung Karang Panas Semarang. Tulisan yang saya muat di sini telah saya revisi dan saya perluas dengan beberapa diskusi baru. Semoga berguna.

Manusia Merusak Dunia

Masyarakat dunia saat ini sedang gencarnya membahas isu lingkungan yang tenar dengan nama global warming alias pemanasan global. Suhu rata-rata global pada permukaan Bumi telah meningkat 0.74 ± 0.18 °C selama seratus tahun terakhir. Banyak ahli yang mengkhawatirkan bahwa pemanasan global ini akan menimbulkan efek negatif yang dahsyat, yaitu mencairnya kumpulan es di kutub-kutub bumi yang dapat mengakibatkan naiknya permukaan laut, badai, banjir dan longsor. Selain itu, pemanasan global membawa efek musnahnya keanekaragaman hayati di dunia dan juga menyebabkan penyakit lebih mudah tersebar luas. Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) menyimpulkan bahwa sebagian besar peningkatan suhu rata-rata global sejak pertengahan abad ke-20 kemungkinan besar disebabkan oleh meningkatnya konsentrasi gas-gas rumah kaca akibat aktivitas manusia yang tak henti mengekploitasi sumber daya bumi sehingga mengakibatkan efek rumah kaca.

Sebagai manusia yang hidup di bumi ini, tentu kita merasa prihatin dan terpanggil untuk ikut menyelamatkan bumi kita yang sedang dilanda masalah ini. Kita memiliki kewajiban moral untuk turut serta melestarikan bumi ini, terlebih karena pemanasan global sendiri adalah anak dari ulah manusia yang terus-menerus merongrong bumi. Namun, bagaimana jika dilihat dari sudut pandang iman? Apakah iman Katolik kita juga turut mengajak kita untuk melestarikan bumi? Apa hubungan antara iman Katolik kita dengan lingkungan hidup? Dalam semangat memasuki Tahun Iman yang baru saja kita awali pada 11 Oktober 2012, mari sejenak kita lihat pandangan Kitab Suci dan Gereja mengenai masalah lingkungan hidup.

Kata Kitab Suci

Dalam buku The Catholic Way, Mgr. Ignatius Suharyo yang sekarang duduk di tahta Uskup Metropolitan Keuskupan Agung Jakarta menguraikan hubungan antara manusia dan alam lingkungannya dalam kacamata Kitab Suci sebagai berikut. Kitab Kejadian 2:15 dan 18 mengatakan bahwa “Tuhan Allah mengambil manusia itu dan menempatkannya dalam taman Eden untuk mengusahakan dan memelihara taman itu. Penuhilah bumi dan taklukkanlah itu, berkuasalah atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan segala binatang yang merayap di bumi”. Dari kutipan perikop tersebut, kita dapat melihat bahwa relasi antara tugas manusia dari Allah terhadap lingkungannya memiliki dua dimensi. Dimensi yang pertama dapat kita lihat dari kata-kata mengusahakan, taklukkanlah, dan berkuasalah. Dalam  dimensi ini, Tuhan memberikan kemampuan dan kebebasan bagi manusia untuk mengeksplorasi dan mengeksploitasi lingkungan sekitarnya demi kepentingan hidupnya. Dimensi pertama ini dilengkapi dalam dimensi kedua yang dicerminkan dari kata memelihara. Dalam dimensi relasi antara manusia dengan lingkungannya, manusia juga memiliki kewajiban untuk memelihara lingkungan sekitarnya sehingga lingkungannya dapat lestari secara berkesinambungan.

Bila kita tilik lebih dalam, ternyata hubungan manusia dan lingkungan ini memiliki makna lebih dalam dan hakiki daripada sekedar tugas memanfaatkan dan memelihara. Dalam Kitab Kejadian 1: 26, dilukiskan dengan indah bahwa Allah menciptakan manusia menurut “gambar dan rupa” Allah sendiri. Apa maksudnya bahwa manusia adalah gambar Allah? Di dunia Perjanjian Lama, kata “gambar” digunakan untuk mengacu pada patung raja yang dikirim ke segala penjuru kerajaan di mana raja tidak bisa hadir secara langsung. Dengan kehadiran “gambar” itu, maka seolah-olah raja hadir di tempat itu. “Gambar” menjadi wakil raja di tempat itu. Dengan menggunakan istilah manusia sebagai “gambar” Allah, Kitab Kejadian berusaha mengungkapkan bahwa manusia adalah menjadi wakil Allah di bumi. Hal ini ditegaskan dengan tugas ilahi yang dikenakan kepada manusia untuk mengusahakan, menaklukkan, berkuasa, dan memelihara bumi. Sebagaimana Allah memerintah alam surgawi, begitu pula manusia memerintah alam duniawi sebagai wakil Allah. Dapatlah kita simpulkan bahwa tugas memanfaatkan dan melestarikan bumi justru merupakan sifat hakiki yang luhur dari martabat manusia sebagai “gambar dan rupa” dari Allah sendiri.

Namun demikian, seringkali manusia hanya ingat kepada dimensi tugasnya yang pertama dan melupakan yang kedua, padahal sebenarnya kedua dimensi itu saling melengkapi. Manusia hanya mau memanfaatkan saja, tapi lupa untuk menjaga dan melestarikan bumi. Manusia kemudian menjadi egois dan serakah. Segala tindakannya di bumi semata-mata menjadi antroposentris, menjadi terpusat pada pemenuhan kebutuhannya sendiri. Manusia telah jatuh dalam dosa yang disebut oleh Paus Yohanes Paulus II sebagai “dosa ekologis”, dosa yang berbentuk keserakahan dan ketidakpedulian manusia pada lingkungan yang semata dilakukan atas nama kepuasan duniawi.

Seruan Para Gembala Gereja

Isu mengenai lingkungan telah menjadi keprihatinan Gereja Katolik sejak lama. Dengan lugas, Paus Yohanes Paulus II telah menyerukan bencana pemanasan global dalam ensiklik Centessimus Annus yang dikeluarkan pada tahun 1991 dengan mengatakan bahwa manusia telah “membangkitkan pemberontakan alam” akibat dari tindakannya terhadap alam yang “tidak diaturnya tetapi justru disiksanya” (Centessimus Annus 37). Pemanasan global yang kita alami sekarang ini adalah perlawanan balik dari alam yang telah kita eksploitasi secara semena-mena. Bak bumerang, tindakan manusia yang sewenang-wenang terhadap alam justru berbalik menyerang dirinya sendiri. Hal ini yang telah diwanti-wanti oleh Paus Paulus VI dalam ensiklik Octogesima Adveniens pada tahun 1971 dengan mengatakan bahwa dengan menghancurkan alam, manusia justru “menjadi korban pengrusakan itu sendiri”. Lebih lanjut, Paus Paulus VI menyerukan pada seluruh umat Kristiani untuk memperhatikan lingkungan dengan “bersedia bertanggung jawab bersama dengan semua pihak lain, guna membangun masa depan yang sejak sekarang dihadapi bersama” (Octogesima Adveniens 21).

Gembala utama Gereja Universal kita yang sekarang, Paus Benediktus XVI bahkan sangat peduli pada masalah lingkungan hidup, bahkan Beliau dijuluki sebagai “Paus Hijau” karena perhatiannya yang sangat besar pada ekologi. Dalam Ensiklik Caritas In Veritate yang dikeluarkan pada tahun 2009, Paus Benediktus XVI mempersembahkan satu bab dalam ensikliknya, yaitu bab 4, untuk secara khusus untuk membahas masalah ekologi. Dalam ensiklik ini, Paus Benediktus menekankan sifat alam lingkungan sebagai pernyataan “cinta dan kebenaran” dari Allah sendiri sebab alam menceritakan kepada kita tentang kebesaran Sang Pencipta (bandingkan Roma 1: 20) serta kasihnya terhadap manusia. Manusia memiliki “kewajiban pelayanan terhadap alam”  untuk melindungi alam demi kepentingan “keseluruhan keluarga manusia” yang ada di bumi dengan cara mengubah gaya hidup manusia menjadi lebih menghormati alam, dan dengan demikian alam pun akan menghormati manusia. Dengan demikian, sebagai kumpulan manusia beriman, Gereja juga memiliki panggilan untuk melestarikan alam lingkungan. Paus Benediktus juga mengangkat masalah sumber daya energi yang terbarukan dan berkesinambungan serta pentingnya kerjasama antara berbagai negara di seantero dunia untuk menggalang solidaritas ekologis (Caritas In Veritate, 43-52).

Gereja Katolik Indonesia juga mengungkapkan keprihatinan mengenai lingkungan. Dalam dua Sidang Agung Gereja Katolik Indonesia (SAGKI) yang terakhir, yaitu pada tahun 2005 dan 2010, selalu ditegaskan komitmen Gereja Katolik Indonesia untuk selalu berupaya memelihara lingkungan hidup. Secara khusus, Keuskupan kita tercinta, Keuskupan Agung Semarang juga membangun komitmen untuk menjaga kelestarian lingkungan dengan mencantumkan pelestarian keutuhan ciptaan sebagai salah satu prioritas Arah Dasar Umat Allah Keuskupan Agung Semarang (ARDAS KAS) tahun 2011-2015. Yang dimaksudkan dengan keutuhan ciptaan dalam ARDAS KAS adalah keseluruhan hidup dan relasi yang harmonis yang terjadi dan berkembang di antara manusia dengan ciptaan lainnya. Perhatian yang besar terhadap pelestarian keutuhan ciptaan dalam ARDAS KAS ini didasari oleh iman dan keyakinan bahwa pada awal mula, Allah menciptakan segala sesuatu baik adanya (bandingkan Kej 1). Kalau ciptaan Allah yang baik adanya itu sekarang rusak oleh ulah manusia, maka sudah menjadi tugas kita untuk ikut memulihkannya.

Pertobatan Ekologis

Sekarang kita tahu bahwa iman Katolik kita ternyata sangat “hijau”, sangat peduli pada kelestarian lingkungan. Namun, iman tanpa perbuatan adalah mati (Yak 2:26). Apa yang dapat kita lakukan sebagai orang beriman Katolik untuk melestarikan keutuhan ciptaan? Jawabannya adalah kita harus bertobat dari dosa ekologis; kita harus berani melakukan pertobatan ekologis yang mengubah paradigma lingkungan yang bersifat antroposentris menjadi biosentris.

Koordinator Gerakan Hidup Bersih dan Sehat Keuskupan Agung Jakarta yang juga pengajar di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta, Romo Al. Andang L. Binawan, SJ, menjelaskan dalam Majalah Hidup Edisi Maret 2012 bahwa ada dua pemahaman dasar tentang pertobatan ekologis. Pertama, manusia harus mengatasi kemalasan dan keserakahannya. Manusia harus berusaha untuk tidak lagi menempatkan dirinya sebagai pusat ciptaan. Pertobatan berarti menghargai makhluk lain, juga bumi, bukan sekadar sebagai alat bagi manusia, tetapi sebagai ciptaan Tuhan yang menjadi anugerah bagi manusia dan harus dijaga. Kedua, menjaga keseimbangan. Maksudnya, setiap ciptaan Tuhan, baik makhluk hidup maupun tidak hidup, telah disusun saling berkait dengan sempurna. Keserakahan manusia bisa menyebabkan keseimbangan kehidupan menjadi rusak. Karena itu, pertobatan manusia berarti juga mengembalikan keseimbangan ini.

Pertobatan ekologis ini harus diwujudnyatakan dalam tindakan konkret secara berkesinambungan. Romo Andang menjelaskan bahwa bentuk nyata pertobatan ini dapat dilakukan dalam tiga segi:

Pertama, pertobatan personal. Pertobatan ini dilakukan secara pribadi berdasar niat pribadi. Lebih peduli pada sampah dengan tidak membuang sembarang, melainkan menaruh dan memilah sampah adalah salah satu contoh. Yang diharapkan bukan sekadar pertobatan yang sekali-sekali saja dilakukan, tetapi diharapkan membentuk habitus atau suatu kebiasaan yang mendarah daging.

Kedua, pertobatan struktural. Artinya, pertobatan yang dilakukan suatu komunitas, entah itu komunitas kecil atau besar, baik lingkungan maupun paroki, bahkan juga keuskupan. Contoh lain adalah suatu paroki yang menyediakan tempat sampah dan ‘kontrol’ yang lebih ketat tentang pengelolaan sampah di kompleks gereja. Kerjasama yang intensif tentang kepedulian ini dengan komunitas lain, asal berkelanjutan, bisa juga jadi contohnya.

Lalu, ketiga, bentuk pertobatan yang lebih bersifat simbolis. Membuat pohon atau kandang Natal dengan botol minuman bekas adalah contoh bentuk ini. Hal ini lebih bersifat mengingatkan dan menggugah kesadaran. Bahkan, menanam pohon di kompleks gereja pun bisa masuk kategori simbolis, karena yang diharapkan adalah dampak yang lebih luas, tidak dibatasi oleh waktu dan tempat.

Pertobatan ekologis perlu menindaklanjuti masalah kontekstualisasi. Artinya, bagaimana menemukan bentuk pertobatan yang paling sesuai dengan konteks setempat. Usaha bertobat pada Masa Prapaskah untuk mengurangi polusi dengan memakai kendaraan umum mungkin tidak terlalu relevan di daerah pedesaan terpencil yang lebih membutuhkan kepedulian pada usaha pelestarian hidup agraris yang berkesinambungan. Diharapkan, pilihan nyata pertobatan itu bisa berdampak secara nyata.

Kita memiliki teladan yang baik dalam melakukan pertobatan ekologis ini. Teladan kita adalah Santo Fransiskus dari Asisi. Dalam semangat persaudaraan yang luhur, dia menganggap semua hal di dunia ini sebagai saudara sesama ciptaan Tuhan. Dia menyapa matahari sebagai saudaranya, bulan sebagai saudarinya, dan semua makhluk ciptaan sebagai keluarganya. Bahkan dengan tanpa ragu, Santo Fransiskus dari Asisi pun memanggil kematian sebagai saudarinya. Kita patut meniru Santo Fransiskus dari Asisi dengan memperlakukan lingkungan sesuai dengan harkat dan martabatnya, yaitu sebagai saudara kita sesama ciptaan Tuhan. Kita manusia, yang di mata Tuhan dipandang “sungguh amat baik” (Kej 1: 31) justru harus mampu mengayomi semua saudara ciptaan Tuhan yang berkali-kali dipandang Tuhan dengan penuh sayang: “semuanya itu baik” (Kej 1: 4, 10, 12, 18, 21, 25). Mari kita belajar pula dari umat Buddha yang sungguh menyayangi semua ciptaan dengan salam doa: “Sabbesatta bhavantu sukhitatta”, yang artinya kurang lebih adalah: “semoga semua makhluk hidup berbahagia”.

Inilah panggilan iman kita sebagai orang Katolik yang perlu diwujudnyatakan dalam tingkah hidup sehari-hari. Mari kita bergandengan bersama, tua muda, miskin dan yang kaya, bersama dengan semua orang lain yang berkehendak baik untuk melakukan pertobatan ekologis. Sedikit menyitir kutipan terkenal yang konon katanya diucapkan Aa’ Gym, untuk memulai pertobatan ekologis, diperlukan tiga hal: harus dimulai dari diri sendiri, harus dimulai dari hal-hal yang kecil, dan harus dimulai dari sekarang!

Berkah Dalem.

Pos ini dipublikasikan di Tentang Hidup, Tentang Iman dan tag , , , , , , , , , , , , , , , , , . Tandai permalink.

Tinggalkan komentar